Oleh: Nuzhah Samiyyah
Pada tahun ke-11 kenabian, enam orang dari Yatsrib (kini dikenal sebagai Madinah) mengunjungi Makkah saat musim haji dan bertemu dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka tertarik dengan ajaran Islam setelah mendengar langsung dari beliau, dan akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam. Keenam orang tersebut juga berjanji kepada Rasulullah untuk menyampaikan risalah Islam kepada kaumnya setibanya di Yatsrib. Perlu dicatat bahwa suku Aus dan Khazraj saat itu tengah dalam kondisi konflik berkepanjangan yang berpuncak pada Perang Bu’ath, yang melemahkan kedua belah pihak. Kondisi ini membuat mereka lebih siap menerima ajaran yang mengedepankan perdamaian dan persatuan, seperti yang ditawarkan Islam.
Tahun berikutnya, tepatnya tahun ke-12 kenabian atau sekitar bulan Juli 621 M, delegasi baru yang terdiri atas 12 pria dari Yatsrib datang ke Makkah untuk berhaji dan bertemu dengan Nabi. Di antara mereka, ada lima orang yang sebelumnya bertemu dengan beliau, sedangkan tujuh yang lainnya adalah orang baru yang tertarik dengan ajaran Islam. Dari dua belas orang tersebut, dua berasal dari suku Aus dan sisanya dari suku Khazraj. Mereka bertemu Rasulullah di Aqabah untuk menyatakan janji setia (baiat) kepada beliau. Baiat ini disebut dengan Baiat Aqabah Pertama,dan isinya mirip dengan perjanjian yang kelak dilakukan kaum wanita kepada Rasulullah saat Fathu Makkah.
Isi baiat tersebut adalah komitmen untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak berdusta, dan tidak bermaksiat dalam hal-hal yang makruf. Rasulullah menegaskan bahwa siapa yang memenuhi perjanjian ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan siapa yang melanggarnya bisa mendapatkan hukuman di dunia sebagai penebusan dosa atau akan diadili oleh Allah di akhirat. Baiat Aqabah Pertama ini memainkan peran penting dalam mempersiapkan kaum Muslimin di Yatsrib untuk menyambut kedatangan Nabi Muhammad dan kelak membangun fondasi bagi negara Islam pertama. Ini menjadi landasan penting bagi Piagam Madinah, konstitusi tertulis pertama dalam sejarah.
Setelah perjanjian itu selesai dan musim haji berakhir, Nabi Muhammad memutuskan untuk mengutus seseorang ke Yatsrib guna mengajarkan ajaran Islam dan membina komunitas Muslim yang mulai tumbuh di sana. Pilihan jatuh pada Mush’ab bin Umair, seorang pemuda cerdas yang termasuk dalam As-Sabiqun Al-Awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam). Mush’ab memiliki latar belakang sebagai pemuda dari keluarga kaya di Makkah, yang rela meninggalkan kemewahan demi Islam. Ia dikenal sebagai Muqri’, seseorang yang ahli dalam membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu dan mampu menyampaikan ajaran Islam dengan bijaksana.
Mush’ab tiba di Yatsrib dan tinggal bersama As’ad bin Zurarah, salah satu pemimpin setempat yang juga sudah memeluk Islam. Keduanya mulai berdakwah dengan mendatangi berbagai pertemuan suku dan rumah-rumah di Yatsrib untuk menyebarkan ajaran Islam. Motivasi penduduk Yatsrib dalam menerima Islam juga disebabkan karena mereka mendengar reputasi Nabi Muhammad sebagai orang yang jujur dan terpercaya, serta keinginan untuk mengakhiri pertikaian antarsuku mereka. Salah satu peristiwa penting dalam perjalanan dakwah Mush’ab adalah ketika dia bertemu dengan dua tokoh penting dari suku Aus, yaitu Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair. Awalnya, Sa’ad dan Usaid menentang kehadiran Mush’ab dan As’ad, bahkan mendatangi mereka dengan amarah. Namun, setelah berdialog dan mendengarkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an oleh Mush’ab, hati mereka melunak dan akhirnya keduanya memeluk Islam. Pengaruh Sa’ad sangat besar di sukunya, sehingga setelah ia masuk Islam, seluruh anggota sukunya, Bani Abdul Asyhal, juga mengikuti jejaknya.
Kisah sukses ini berlanjut dengan Mush’ab yang berhasil mengislamkan hampir seluruh rumah di Yatsrib, meski masih ada suku-suku tertentu yang bertahan dalam kepercayaan lama. Suku seperti Bani Umayyah bin Zaid baru memeluk Islam setelah Perang Khandaq pada tahun ke-5 Hijriyah. Salah satu kejadian menarik adalah bagaimana Sa’ad bin Mu’adz, setelah memeluk Islam, berkata kepada kaumnya bahwa semua hubungan sosial dengannya terputus kecuali jika mereka juga beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ancaman ini cukup efektif untuk membuat kaumnya berbondong-bondong masuk Islam.
Sebelum musim haji tahun ke-13 kenabian, Mush’ab kembali ke Mekkah untuk melaporkan hasil kerjanya kepada Nabi Muhammad. Ia menceritakan bagaimana Islam mulai menyebar di Yatsrib dengan cepat dan bagaimana masyarakat di sana, baik dari kalangan biasa maupun para pemimpin, mulai menerima Islam. Laporan ini menunjukkan bahwa Yatsrib memiliki potensi besar sebagai basis yang kuat bagi perkembangan Islam, terutama karena warganya memiliki semangat dan jiwa yang kuat dalam menerima ajaran baru ini. Kesuksesan Mush’ab di Yatsrib membuka jalan bagi peristiwa besar berikutnya, yaitu Baiat Aqabah Kedua, dimana lebih banyak orang dari Yatsrib datang untuk menyatakan dukungan mereka kepada Rasulullah dan mengundang beliau untuk berhijrah ke Yatsrib, yang kemudian menjadi Madinah.
Dari kisah Baiat Aqabah tersebut, dapat kami simpulkan bahwasanya Islam mengajarkan pentingnya persatuan dan perdamaian di tengah konflik. Dakwah yang dilakukan dengan keteguhan dan pengorbanan, seperti yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin Umair, berhasil membentuk komunitas yang solid dan siap mendukung perubahan. Selain itu, kisah ini juga mengajarkan bahwa kepemimpinan yang bijaksana serta kesetiaan kepada pemimpin sangat berpengaruh dalam menciptakan perubahan sosial. Baiat Aqabah mengajarkan pentingnya komitmen bersama untuk menjalankan prinsip kebaikan, demi mencapai tujuan bersama dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Referensi
- Sirah Nabawiyah (Terjemah), Prof. Dr. Mahmud al-Maraghi, cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut.
- Sealed Nectar (Ar-Raheeq Al-Makhtum) (Terjemah) , Dr. Muhammad Saed Abdul-Rahman, cetakan Darussalam, Riyadh.
- Al-Bidayah wa An-Nihayah (The Beginning and the End) (Terjemah), Dr. Saiful Islam, cetakan Dar al-Fikr, Beirut.
- Tarikh At-Tabari (The History of al-Tabari) (Terjemah), Ismail Poonawala, cetakan Bill : Leiden.
Tinggalkan Balasan