Penulis : Sumayyah

Setelah istri Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam Khadijah dan paman beliau Abu Thalib meninggal, perasaan beliau sangat sedih. Ujian yang datang juga semakin dahsyat dan banyak penolakan dari orang-orang Mekkah terhadap dakwah beliau. Oleh karena itu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Thaif bersama Zaid bin Haritsah pada tahun ke-10 kenabian. Tujuan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Thaif adalah untuk berdakwah menyebarkan agama islam dan berharap dakwah beliau diterima di sana.
Sesampainya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di Thaif, beliau mulai berdakwah menyebarkan agama islam kepada kabilah-kabilah Thaif dan penduduknya. Namun, ajakan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tidak diterima oleh mereka. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam hanya mendapat hinaan dari orang-orang Thaif dengan dicaci maki, dilempari batu hingga sandal yang beliau pakai penuh dengan darah. Sementara Zaid bin Haritsah menjadikan dirinya perisai untuk melindungi Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah mengalami siksaan dari orang-orang Thaif, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan Zaid bin Haritsah kembali ke Mekkah dalam keadaan sedih. Setibanya di bawah pohon, beliau duduk untuk istirahat seraya berdoa kepada Allahsubhanahu wa ta’ala, mengadukan segala keluh kesah dan kesedihannya di bawah pohon tersebut.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Haritsah kembali melanjutkan perjalannya menuju Mekkah, ketika tiba di Qarn al-Manazil, Allah mengutus Jibril kepadanya bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu perintah dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam untuk menimpakan al-Akhsyaban (dua gunung di Mekkah) terhadap penduduk Thaif.
Terdapat hadis dari Ash-Shahihain (Shahih Bukhori dan Muslim) bahwasanya Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah engkau pernah menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada Perang Uhud?” Beliau bersabda, “Aku pernah mendapatkan perlakuan mereka yang paling berat yang aku rasakan adalah pada waktu di Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu Abd Yalil bin Abd Kulal tetapi dia tidak menanggapi apa yang aku inginkan sehingga aku beranjak dari sisinya dalam keadaan sedih. Aku tidak lagi menyadari apa yang terjadi kecuali setelah dekat tempat yang bernama Qarn ats-Tsa’alib sekarang disebut Qarn al-Manazil. Waktu aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka. Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku dan memberi salam kepadaku kemudian berkata, ‘Wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu, jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan al-Akhsyabain, maka akan aku lakukan.’
Namun Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bahkan aku berharap kelak Allah Ta’ala melahirkan dari keturunan mereka suatu kaum yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun.”[1]
Tiba di Mekkah, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Haritsah masuk dengan mendapat perlindungan dari Al-Muth’im.
Pesan yang bisa dipetik dari perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ke Thaif adalah sikap bijak beliau menghadapi cobaan ketika berdakwah dan bersabar dalam cobaan-cobaan tersebut. Kemudian hanya kepada Allah kita meminta dan mengadukan segala keluh kesah yang kita rasakan, tidak bergantung kepada selain-Nya.
Referensi:
- Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, cet. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
- Fikih Sirah Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasulullah, Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, cet. Darus Sunnah, Jakarta.
- Yufid.TV. (2019, 6 September. Kisah Dakwah Nabi ke Thaif. [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=xNK9sgeUM9I
[1] Shahih Al-Bukhori Kitab Bad al-Khalq 1 /458; Muslim Bab Ma Laqiya an-Nabi shallahu alaihi wasallam 2 /109.