Donor Organ dan Hukum Islam: Antara Izin, Etika, dan Larangan Jual Beli

📥 Penulis: Malika Syifa Audina

🏆 PEMBAHASAN

Setelah membahas donor hidup dan donor mati, kini pembahasan berfokus pada nilai etis, hukum, dan pandangan ulama terhadap donor organ. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«‌أَسْرِعُوا ‌بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا إِلَيْهِ، وَإِنْ تَكُ غَيْرَ ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ»

“Segerakanlah penyelenggaraan jenazah. Karena, apabila jenazah itu orang shalih maka kalian telah berbuat baik untuknya. Sedangkan jika jenazah itu bukan orang baik maka agar kalian segera meletakkan benda jelek dari pikulan kalian.” (HR. Al-Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyegerakan dalam kepengurusan jenazah. Namun kenyataannya, adakalanya perintah tersebut tidak terlaksana. Hal ini disebabkan adanya beberapa alasan diantaranya untuk membedah jenazah tersebut. Secara garis besar, pembedahan bertujuan untuk otopsi dan pembelajaran calon dokter (kadaver).

💼 Otopsi adalah prosedur pemeriksaan menyeluruh terhadap tubuh mayat, termasuk organ dalam, untuk mengetahui penyebab kematian. Otopsi sendiri dibagi menjadi dua macam dilihat dari tujuannya:

👑 Otopsi Forensik, untuk mengungkap penyebab kematian dalam konteks hukum sehingga dapat mengungkap pelaku kejahatan.

👑 Otopsi Klinis (Akademik), untuk mencari penyebab medis dari kematian yang jelas.

🌃 Kadaver dan jual beli mayat

Kadaver adalah proses yang dilakukan pada mayat yang telah diawetkan untuk tujuan pendidikan medis, penelitian, atau pelatihan. Dalam praktiknya kadaver harus mengikuti tata prosedur yang berlaku.

Di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 157, yang menjelaskan ketentuan penggunaan jenazah untuk keperluan pendidikan dan penelitian. Jenazah yang dijadikan kadaver harus diperoleh dengan persetujuan tertulis.

Persetujuan tersebut baik dari yang bersangkutan sebelum meninggal atau dari pihak keluarga. Adapun menjual mayit yang digunakan sebagai bahan penelitian ataupun dengan tujuan mengambil keuntungan dari donor organ mayat tanpa adanya persetujuan sebelumnya, maka hal ini dilarang karena tergolong eksploitasi manusia, baik dari sisi agama maupun tata etika kemanusiaan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.”  (QS. Al-Isra:70)

Diriwayatkan dari  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

“Mematahkan tulang orang yang mati seperti halnya mematahkannya ketika ia masih hidup.” (HR. Abu Dawud)

Dari ayat dan hadis di atas dapat kita ambil beberapa faedah di antaranya:

📍Para ulama fikih menyatakan terkait dalil ini bahwa haram hukumnya mematahkan tulang orang yang sudah meninggal, sama hal nya seperti orang hidup, baik dari sisi kehormatan dan kemuliaannya.

Dalil tersebut mengisyaratkan larangan untuk melakukan pembedahan terhadap jenazah muslim untuk tujuan imiah. Karena perbuatan tersebut melanggar kehormatan jenazah tersebut, karena jenazah muslim termasuk yang dijaga kemuliaannya. Adapun pembedahan yang dilakukan sebab adanya maslahat yang ingin dicapai maka hal ini dibolehkan.

Larangan untuk memperjualbelikan organ tubuh setelah meninggal dunia, karena perbuatan ini menyebabkan terjadinya pembedahan terhadap mayit tersebut dan ini melanggar.

🪴 Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Tidak boleh mempermainkan jenazah kaum muslimin. Akan tetapi, hendaknya dimuliakan dan dimakamkan. (Kehormatan jenazah muslim tersebut) tidak boleh dilanggar, kecuali jika dilakukan pembedahan (otopsi) untuk mengetahui penyebab kematian. Apakah jenazah tersebut dibunuh atau meninggal tanpa dibunuh. Jika otopsi tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian, maka tujuan tersebut dapat dibenarkan.